Standar Penilaian Indonesia (SPI) 2013 dan Kode Etik Penilai
Indonesia (KEPI) 2013 telah disahkan pada tanggal 25 April 2013. Untuk
mensosialiasikan SPI dan KEPI 2013 kepada para penilai publik di
Indonesia, maka dilaksanakan diseminasi SPI dan KEPI 2013 pada bulan Mei
sampai dengan Juli 2013. Artikel ini membahas tentang
perubahan-perubahan yang terjadi pada Standar Penilaian Indonesia dan
pengaruhnya terhadap praktek penilaian di Indonesia.
Apa itu SPI dan KEPI?
SPI dan KEPI bukanlah merupakan barang baru bagi profesi penilai di
Indonesia. Sebagaimana profesi lainnya, demi kepentingan semua
stakeholder, baik penilai, pengguna jasa, regulator, maupun masyarakat,
baik di ranah nasional maupun internasional, maka penilai sebagai salah
satu profesi yang dinaungi oleh Kementerian Keuangan memiliki kode etik
dan standar profesi yang disusun dan dikembangkan oleh asosiasi profesi.
Kode Etik Penilai Indonesia (KEPI) merupakan landasan yang paling
mendasar dalam pelaksanaan Standar Penilaian Indonesia (SPI) agar
seluruh hasil pekerjaan penilaian dapat memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dengan cara yang jujur dan kompeten secara profesional, bebas
dari kecurigaan adanya kepentingan pribadi, untuk menghasilkan laporan
yang jelas, tidak menyesatkan dan mengungkapkan semua hal yang penting
untuk pemahaman penilaian secara tepat.
Standar Penilaian Indonesia (SPI) adalah pedoman dasar pelaksanaan
tugas penilaian secara profesional yang sangat penting artinya bagi para
Penilai untuk memberikan hasil yang dapat berupa analisis, pendapat,
dan dalam situasi tertentu memberikan saran-saran dengan menyajikannya
dalam bentuk laporan penilaian sehingga tidak terjadi salah tafsir bagi
para pengguna jasa dan masyarakat pada umumnya.
Perkembangan KEPI dan SPI terus berkembang sesuai dengan pertumbuhan
kebutuhan akan penilai profesional untuk mendukung perekonomian yang
berbasis pasar, mulai dari SPI 2002, SPI 2007, sampai saat ini baru saja
diresmikan SPI 2013. KEPI dan SPI juga terus mengikuti standar
internasional yaitu International Valuation Standard (IVS) yang disusun
oleh IVS.
Apa perbedaan mendasar SPI 2007 dengan SPI 2013?
Dari awal, SPI 2013 memang disusun agar bisa sejajar dengan standar
penilaian dari internasional dan negara lain, sehingga filosofi
penyusunan dan strukturnya juga diubah menjadi lebih berbasis prinsip (principle-based) dan terhubung antara satu dengan lainnya (interconnected),
dengan diharmonisasi dengan kebutuhan penilai Indonesia pada umumnya.
SPI juga dikembangkan sesuai dengan isu dan jenis pekerjaan yang
disyaratkan oleh Undang-Undang, misalnya untuk pembebasan tanah untuk
kepentingan umum dengan tujuan agar dapat menaungi penilai yang
melakukan pekerjaan di bidang tersebut.
KEPI dan SPI yang sebelumnya menjadi satu dokumen, sekarang
dilepaskan menjadi dua dokumen yang berbeda, sehingga dapat
dimuktahirkan masing-masing. Namun untuk saat ini, KEPI dan SPI masih
dijilid menjadi satu buku.
Struktur dan penomoran SPI juga berubah yang tadinya menggunakan
prefiks SPI, PPI, dan PPPI diubah menjadi semuanya SPI tapi dengan
kode-kode 1, 2, dan 3. SPI 1xx adalah padanan SPI di SPI 2007. SPI 2xx
adalah padanan PPI, dan SPI 3xx adalah padanan PPPI. Berarti semua
panduan yang ada SPI sebelumnya sekarang sudah menjadi standar.
Nilai Pasar juga berubah definisinya untuk bisa mencakup semua jenis penilaian baik penilaian properti maupun penilaian bisnis.
Selain itu, di Standar Umum (SPI 1xx), ditambahkan SPI 104
Implementasi, yang merupakan proses kerja penilaian yang menghubungkan
SPI 103 Lingkup Penugasan dengan SPI 105 Pelaporan Penilaian. Sehingga
penilai saat ini perlu lebih berpikir mengenai proses penilaian dan
bukan hanya tentang pelaporannya.
Begitu juga diperkenalkan istilah yang sama sekali baru dalam dunia
penilaian Indonesia, yaitu investigasi, yang memiliki arti dan batasan
khusus dalam penilaian.
Nilai yang sebelumnya dikenal sebagai Nilai Jual Paksa, dikembalikan
istilah utamanya menjadi Nilai Likuidasi, namun di laporan dihimbau
untuk ditulis Indikasi Nilai Likuidasi karena kurangnya data pembanding
yang sesuai untuk menentukan Nilai Likuidasi dan lebih merupakan
perkiraan atau indikasi dari suatu faktor tertentu.
Beberapa jenis nilai selain nilai pasar juga ditambahkan seperti
Nilai Penggantian Wajar, dan Nilai Sinergis yang masing-masing tentu
memiliki aplikasi yang khusus.
Apa definisi Nilai Pasar di SPI 2013?
Dalam SPI 101 butir 3.1 dijelaskan bahwa Nilai Pasar didefinisikan
sebagai estimasi sejumlah uang yang dapat diperoleh dari hasil penukaran
suatu aset atau kewajiban pada tanggal penilaian, antara pembeli yang
berminat pembeli dengan penjual yang berminat menjual, dalam suatu
transaksi bebas ikatan, yang pemasarannya dilakukan secara layak, dimana
kedua pihak masing-masing bertindak atas dasar pemahaman yang
dimilikinya, kehati-hatian, dan tanpa paksaan.
Dimana dijelaskan juga bahwa istilah Aset pada SPI 2013 memiliki
pemahaman yang sama dengan Properti di SPI 2007 yang biasa digunakan
sebelumnya sebagaiaimana dijelaskan di dalam KPUP butir 3.0, sehingga
istilah aset dalam SPI ini dapat dipertukarkan dengan properti.
Apa itu “investigasi” dalam konteks penilaian?
Investigasi dalam pengertian bahasa pada umumnya adalah pengamatan
yang teliti atau berhati-hati terhadap suatu hal. Biasa digunakan dalam
film-film detektif, kata ini terdengar asing di telinga penilai.
Namun, di SPI 104 Implementasi butir 3.2 dijelaskan definisi
investigasi dalam konteks penilaian.
Investigasi dalam konteks penialian adalah proses pengumpulan data
yang cukup dengan cara melakukan inspeksi, penelaahan, penghitungan, dan
analisis sesuai tujuan penilaian.
Jadi, investigasi mencakup juga inspeksi yang sudah terlebih dikenal
di dunia penilain, ditambah dengan beberapa langkah yang memang sudah
biasa dilakukan, sebelum dilakukan penerapan pendekatan penilaian dan
penyusunan kertas kerja penilaian, dan pelaporan penilaian.
Penutup dan Catatan Penulis
Penulis melihat bahwa SPI 2013 bersifat universal, berpikir ke depan (forward thinking),
dan internasional, sehingga Penulis mendukung penuh implementasi SPI
2013 di dunia penilaian Indonesia. Akan tetapi, terdapat kelemahan di human capital
pada penilai Indonesia yang tidak mau atau tidak bisa berubah karena
satu dan lain hal. Misalnya pada penilai di daerah yang kurang
informasi dan bingung untuk penerapan standar baru yang berubah
signifikan setiap lima tahun sekali. Begitu juga pimpinan Kantor Jasa
Penilai Publik yang lebih berorientasi bisnis daripada profesi sehingga
nyawa dan tujuan dari penerapan standar baru ini tidak tersalurkan
dengan baik. Kesempatan terbuka bagi penilai Indonesia untuk bersaing
secara regional dengan penilai ASEAN dan global ketika pasar bebas dan
globalisasi yang sekarang sudah mulai merasuk dalam ke dalam sendi-sendi
perekonomian. Ancamannya berada pada salah tafsir dan ketidaktahuan,
serta ketidakpatuhan penilai terhadap standar baru ini.
Saran penulis adalah karena SPI ini sifatnya baru, maka harus
diadakan diseminasi dan sekaligus sosialisasi seluas-luasnya terhadap
semua pemangku kepentingan (stakeholder), baik kepada penilai,
pengguna jasa, regulator, dan masyarakat secara lengkap namun mudah
dicerna. Penulis berharap dunia penilaian di Indonesia bisa terus
berkembang dan maju sehingga penilai menjadi sebuah profesi yang diakui
di negara ini seperti di Singapura dan Malaysia yang posisi penilainya
terkesan lebih tinggi dari di Indonesia.
Sekian dulu. (@alberthchen)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar