Pemerintah melalui Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP)
Kementerian Keuangan mengklaim sebagian besar profesi akuntan dan
penilai publik di dalam negeri telah siap menyambut konvergensi
International Financial Reporting Standards (IFRS) 13.
IFRS 13 sendiri mengatur tentang Fair Value Measurement atau
pengukuran nilai wajar yang memaksa profesi ini untuk segera berubah.
Pasalnya, standar yang sekarang dipakai para penilai dalam menentukan
nilai wajar suatu aset, kurang dapat menangkap kebutuhan dalam konteks
pelaporan keuangan.
Kepala PPAJP, Langgeng Subur mengatakan, saat ini semua kalangan
sudah lebih siap untuk konvergensi IFRS. Dia berharap kejadian seperti
di industri asuransi yang kelabakan menghadapi tuntutan IFRS tidak
terulang di profesi penilai dan akuntan.
Menurut Langgeng, kendala utama penerapan prinsip baru ini adalah
“mencari nilai wajar di negeri yang tidak wajar”. Pasalnya tata ruang
Indonesia memang dikenal dengan keunikan dan ketidakwajarannya.
“Misalnya di tengah-tengah lingkungan perumahan bisa saja terdapat tanah
kuburan. Atau di tengah lingkungan villa mewah terdapat perkebunan
teh,” ujar Langgeng.
Hal itu, lanjut dia, akan membutuhkan mekanisme penilaian yang
berbeda, karena adanya perbedaan nilai wajar aset di satu lingkungan.
Namun demikian, kali ini Langgeng cukup optimistis akan kesiapan para
pelaku industri. Dari kalangan penilai sendiri, Langgeng menilai
kondisinya lebih siap dibanding apa yang terjadi di industri asuransi.
Ketua Bidang Pengembangan Standar MAPPI, Rengganis Kartomo mengakui,
meskipun ini merupakan hal baru, MAPPI telah menyiapkan fondasi bagi
para penilai dalam rangka penerapan IFRS 13.
“Sebelumnya, dalam Standar Penilaian Indonesia (SPI) 2007, sudah ada
standar untuk melakukan valuasi aset tersebut. Namun pengukuran nilai
wajarnya masih mengacu pada nilai wajar sebelumnya. Jadinya sekarang
tidak relevan,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar